Nama asli
al-Imām al-Shāfi’I adalah Abū ’Abdullāh Muhammad bin Idrīs bin al-’Abbās bin
’Utsmān bin Shāfi’ bin al-Sāib al-Qurashi al-Maṭlaby al-Shāfi’I. nasabnya akan
bertemu dengan Rasūlullāh pada Kilāb.
Beliau
dilahirkan Ghurrah pada tahun 150 H namun kemudian dibawa ke Mekkah guna
menimba ilmu.Dan diantara guru-gurunya yang sangat berpengaruh adalah al-Imām
Mālik yang mengarang kitab al-Muwaṭṭa'. Pada usia 7 tahun beliau sudah hafal
al-Qur'an kemudian setelah itu beliau menghafal kitab al-Muwaṭṭa' dan
selanjutnya pada usia 20 tahun beliau telah diangkat menjadi Mufti di Makkah
atas rekomendasi dari Muslim bin Khālid. Beliau meninggal pada bulan Sha’bān
tahun 204 H di Mesir.Demikianlah sekilas pandang mengenai imam besar ini.
Dalam
muqaddimahnya beliau menyebutkan: "Allah telah
mengutus seorang utusan dengan memberikan kitabnya (al-Qur'an) yang kemudian
digunakan sebagai petunjuk umatnya dan sesungguhnya Allah mengutus seseorang
itu guna menyampaikan amanat yang dia emban dari Sang Khāliq. Maka ketika tidak
terdapat sebuah naṣ mengenai suatu permasalahan dalam al-Qur'an, sesungguhnya
Allah telah menjelaskan dalam al-Qur'an bahwa Rasulullah-lah yang akan memberikan petunjuk yang lurus pada
ummatnya (jalan Allah), karenanya Allah memerintahkan juga pada kita selaku
umatnya untuk selalu menta’ati dan melaksanakan segala perintahnya juga menjauhi semua
larangannya. Kewajiban atas perintah ini harus ditaati sampai hari kiamat
secara muṭlaq.
Ketika
Allah mewajibkan suatu hal maka akan selalu disertai dengan batasannya.
Diantaranya terdapat banyak kebenaran yang ditunjukkan dengan shahādah (saksi)
namun saksi itu ternyata banyak macamnya.
Allah menunjukkan hal ini melalui lisan utusannya dengan
menjelaskan bahwa saksi untuk seorang yang berzina setidaknya harus ada sekitar
4 orang, untuk masalah hutang cukup 2 orang (1 saksi seorang laki-laki berarti
sama dengan 2 saksi dari perempuan), begitu juga mengenai saksi dalam waṣiat,
padahal hak-hak yang ada antara sesama manusia tidak dicantumkan dalam
al-Qur'an. Maka seolah-olah terdapat suatu pertentangan antara naṣ yang ada
dalam al-Qur'an dengan naṣ yang ada dalam hadis.Maka akhirnya beliau mencoba
untuk menyelesaikan apa yang didapatinya dari perbedaan itu dengan caranya
sendiri.
Banyak
sekali kasus yang memotifasinya untuk mengarang kitab mukhtalaf al-Hadīth ini.
Diantaranya
mengenai masalah seorang suami yang mencium istrinya padahal sedang dalam
keadaan berpuasa. Maka tidak ada yang mengharamkannya kecuali setelah adanya naṣ
yang menjelaskan mengenai hal tersebut.[1]
Ketika kami mencoba mencari tahu bagaimana ilmu ini ada?
Dan ketika ada masalah, bagaimana kaidah pasti penyelesainnya? Namun ternyata Al-Imām
al-Shāfi’I memang tidak pernah
menyebutkan mengenai ilmu ini yang disusun khusus untuk menjelaskan Mukhtalaf
al-Ḥadīth hanya saja kita bisa mengetahuinya dengan mencoba memahami sendiri
bagaimana metode penyelesaian yang beliau gunakan dari suatu permasalahan.
Contoh Kasus dan Cara Penyelesaiannya Imam Syafi’i
1.
Mayyit yang ditangisi
وَأَخْبَرَنَا
أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِى إِسْحَاقَ الْمُزَكِّى فِى آخَرِينَ قَالُوا
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ
بْنُ سُلَيْمَانَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِىُّ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمْرَةَ أَنَّهَا سَمِعَتْ
عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا وَذُكِرَ لَهَا أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ يَقُولُ : إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَىِّ. فَقَالَتْ
عَائِشَةُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا : أَمَا إِنَّهُ لَمْ يَكْذِبْ وَلَكِنَّهُ
أَخْطَأَ أَوْ نَسِىَ إِنَّمَا مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى
يَهُودِيَّةٍ وَهِىَ يَبْكِى عَلَيْهَا أَهْلُهَا فَقَالَ :«إِنَّهُمُ لَيَبْكُونَ
عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِى قَبْرِهَا».
Jika kita melihat redaksi ini
secara ẓāhir maka apa yang diriwayatkan oleh sayyidina ’Umar seolah-olah
bertentangan dengan riwayat dari Sayyidah ’Āisyah. Namun kemudian al-Imām
Shāfi’i mengatakan dalam kitabnya, apa yang diriwayatkan oleh Sayyidah ’Āisyah
dari Rasulullah benar-benar menyerupai benar dengan dalil yang dikutip dari
al-Qur'an. Ketika ditanyakan mana dalil yang sesuai dengan konteks hadisnya?
Maka dijawab:
وَلَا تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (الأنعام: 164)
Ayat al-Qur'an diatas merupakan
penguatan dari perkataannya sayyidah ’Āisyah
yang meralat perkataan dari sayyidina ’Umar bahwa seorang mayyit itu akan
disiksa karena tangisan orang yang masih hidup. Dalam ayat diatas dapat kita
fahami bahwasanya
"Dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain (Maksudnya: masing-masing orang memikul
dosanya sendiri-sendiri"
Redaksi
hadis yang dikatakan oleh Sayyidah ’Āisyah sangat dikuatkan dengan ayat
al-Qur'an karena setiap orang itu hanya akan memikul bebannya dan
mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya sendiri. Sementara apa yang
diriwayatkan oleh ’Umar seolah-olah seorang mayyit akan dibebankan dosa dari
orang lain (orang yang masih hidup yang menangisi kepergiannya). Dalam redaksinya,
Sayyidah ’Āisyah menyebutkan bahwa ketika itu Rasul sedang melewati seorang
Yahudi kemudian Rasul berkata:
إِنَّهُمُ
لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِى قَبْرِهَا
"Mereka menangisi kepergiannya dan dia sedang
disiksa dalam kuburnya".
Ini merupakan 2 hal yang
berbeda. Mayyit Yahudi tadi akan tetap disiksa apakah dengan adanya tangisan
dari orang yang masih hidup ataukah tidak? Karena mayyit itu disiksa bukan
karena tangisan orang yang masih hidup melainkan karena Yahudinya yang berarti
bahwa dia berada dalam kekafiran. Jadi dapat disimpulkan bahwa hadis mengenai
tangisan pada seseorang yang menangisi kepergian seorang mayit akan menambah
siksa mayyit itu tidak benar karena penambahan ’adhab itu karena amal
perbuatannya (berada dalam kekafiran) sementara tangisannya sama sekali tidak
berhubungan dengan adhab yang diberikan.[2]
Kesimpulannya bahwa dalam hadis
ini yang terlihat bertentangan antara redaksi hadis dari sayyidina ’Umar dengan
ayat al-Qur'an mengenai amal perbuatan seseorang. Namun dapat kita simpulkan,
dalam redaksi hadis pun sudah dijelaskan lebih lanjut oleh Sayyidah ’Āisyah
yang kemudian dikuatkan dengana adanya dalil dalam al-Qur'an dalam hal ini,
al-Imām al-Shāfi'i menggunakan metode tarjīḥ (memilih qaul yang lebih
arjaḥ).
2.
Memakan Daging Biawak
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ
الربيع بن سليمان أنبأ الشافعي أنبأ مالك عن بن شهاب عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف
عن بن عباس رضي الله عنهما : قال الشافعي أشك قال مالك عن بن عباس عن خالد بن
الوليد أو عن بن عباس وخالد بن الوليد رضي الله عنهم أنهما دخلا مع النبي صلى الله
عليه و سلم بيت ميمونة فاتي بضب محنوذ فأهوى إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم
بيده فقال بعض النسوة اللاتي في بيت ميمونة أخبروا رسول الله صلى الله عليه و سلم
بما يريد أن يأكل فقالوا هو ضب يا رسول الله فرفع رسول الله صلى الله عليه و سلم
يده فقلت أحرام هو فقال لا ولكنه لم يكن بأرض
قومي فأجدني أعافه قال خالد فاجتررته فأكلته ورسول الله صلى الله عليه و سلم ينظر
“Diceritakan, bahwa ketika itu ada Ibn ’Abbās dan Khālid
bin Wālid yang datang bersama Rasulullah ke rumah Maimūnah. Disana disuguhkan
daging biawak. Ketika Rasul menjulurkan tangan hendak mengambil daging itu,
namun ada beberapa perempuan yang memberi tahu Rasul bahwa daging yang hendak
diambil Rasul itu adalah daging biawak, maka kemudian Rasul kembali mengangkat tangannya
(tidak jadi mengambil daging biawak tersebut). Karena hal itu, ada seseorang
yang bertanya: Apakah itu berarti daging ini haram, ya Rasul? Rasul menjawab:
Tidak, tetapi daging itu tidak ada di negaraku dan aku memaklumi kalian untuk
memakannya. Kemudian Khālid berkata: Akhirnya aku memakan daging itu dan Rasul
hanya melihatnya”.
Tapi ada redaksi lain yang mengatakan:
أخبرنا
الربيع ، أخبرنا الشافعي ، أخبرنا مالك ، عن نافع ، عن ابن عمر ، أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم سئل عن الضب ، فقال : « لست بآكله ، ولا محرمه »
Menurut Ibn ’Umar, kalimat لست
بآكله itu berarti bahwa Rasul
memakruhkan dirinya sendiri untuk memakan daging biawak itu sementara dari
redaksi lain أعافه yang berarti Rasul hanya memaklumi.[3]
Dalam hadis ini terdapat suatu ikhtilāf
yang dapat ditarik kesimpulan dengan jalan jam’u (mengumpulkan)
bahwa memakan daging biawak itu tidak diharamkan namun Rasul sendiri tidak
menyukai daging ini dengan alasan bahwa di negaranya tidak terdapat daging yang
seperti ini. Dan Rasul tetap memahami mereka yang memang menyukai daging ini
karena memang tidak ada hukum yang menjelaskan bahwa daging ini haram.
Beliau
adalah seorang Khāṭib ahl al-Sunnah yaitu al-Imām al-’Allāmah Abū Muhammad
’Abdullāh bin Muslim al-Kātib al-Dīnaury (nama ini dinisbatkan pada daerahnya
yang berada di daerah Persia saat itu). Beliau
lebih dikenal dengan nama Ibn Qutaibah. Beliau bertempat tinggal di Baghdad.
Tidak ada yang berbeda pendapat mengenai
kelahirannya.Beliau lahir pada bulan Rajab 213 H, namun ada perbedaan pendapat
mengenai tahun wafatnya. Menurut Ibn al-Nadīm menyebutkan bahwa beliau wafat
pada bulan Dhul Qa’dah 270 H, ini juga tertulis dalam kitab Tārīkh al-Baghdād
yang dikarang oleh al-Imām al-Khāṭib al-Baghdādy, berbeda halnya dengan Ibn
Khalkān dalam kitabnya yang menyebutkan bahwa beliau meninggal pada tahun 271.
Namun, menurut qaul yang paling sahiḥ (pengarang kitab ini) beliau wafat pada
malam hari di awal bulan Rajab 276 H. sebab meninggalnya beliau itu begitu
tiba-tiba.Disebutkan dalam kitab al-Tārīkh al-Baghdād bahwa meninggalnya beliau
karena merasa mendengar suatu tiupan dari jauh yang menjadikan beliau pingsan
dan pada akhirnya meninggal.
Ketika beliau menimba ilmu di daerah
Bahgdad, beliau memiliki banyak sekali guru-guru dan juga murid. Diantara
gurunya adalah:
1. Al-Imām al-Hafiẓ Ishāq bin Ibrāhīm
(lebih dikenal dengan nama Ibn Rahwīh)
2. Muhammad bin Ziyād al-Ziyādy
3. Abū al-Hātim al-Sijistāny
4. Muhammad bin ’Abīd al-Ṭanāfisy
5. Muhammad bin Khālid bin Khadasy
Dan
diantara murid-muridnya adalah:
1. Anaknya, Ahmad bin ’Abdillāh bin Muslim
2. Ibrāhīm bin Muhammad bin Ayyūb al-Ṣāigh
3. ’Abdullāh bin Ja’far al-Fārisy
Dalam kitabnya disebutkan permulaan
adanya perpecahan di kalangan kaum muslimin pada zaman Sayyidina Abū Bakr dan
Khulafa' al-Rāsyidīn juga keadaan umat islam setelahnya yang di kemudian hari
dikatakan sebagai golongan ahl al-kalām. Diantara golongan yang beliau sebutkan
adalah:
1. Khawārij
2. Syī’ah Ghulaṭ (Rāfiḍah)
3. Mu’tazilah
4. Qadariyyah dan Jabbāriyyah
5. Firqah-firqah lain dan
6. Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah[4]
Kemudian dalam
masalah madhzab, beliau tidak bermadhzab apapun karena beliau sendiri dikatakan
sebagai mujtahid muṭlaq yang ṭarīqahnya menyerupai ṭarīqah ahlal-Ḥadīth.Adapun
dari segi ’aqīdah, menurut Syaikh al-Islām Ibn Taimiyah beliau merupakan ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Itulah sekilas pandang mengenai Ibn Qutaybah yang akan
coba kami bahas mengenai isi kitabnya dalam bidang ikhtilaf al-Ḥadīth.
Berbeda
halnya dengan kitab Ikhtilāf al-Ḥadīth karya al-Imām al-Shāfi’i, kitab Ta'wīl
Mukhtalaf al-Ḥadīs karya Ibn Qutaybah al-Dainūri (213-276 H) muhaqqiq dalam kitab ini telah
menjelaskan segala hal penting yang berkaitan dengan kitab ini. Kitab ini
memilki beberapa tujuan yang sekaligus bisa kita lihat sebagai motivasi beliau
dalam penyusunan kitab ini:
1.
Penyebutan hadis-hadis dalam masalah ’aqidah dan ṣifat-ṣifat Allah yang
dianggap bertentangan (walaupun
sebenarnya masalah ini sudah pernah diangkat oleh Ibn Furūq dalam kitabnya)
dengan cara dan metodenya sendiri
2.
Penjelasan mengenai ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah dalam bidang ilmu kalam
yang berkaitan erat dengan hadis nabi
3.
Menyanggah mereka yang melancarkan tuduhan pada ahli hadis[5]
4.
Menjawab hadis-hadis yang mutashābih atau mushkil dengan suatu pendapat.[6]
Berbeda
halnya dengan kitab ikhtilāf hadisnya karya al-Imām al-Shāfi’i, dalam kitab ini
lebih dominan menjelaskan mengenai ihktilāf hadis yang ada diantara ahl
al-kalām (seperti yang sudah coba kami jelaskan diatas) dan dianggap
bertentangan dengan hadis yang menjadi pedoman baginya sebagai ahl al-Sunnah wa
al-Jamā’ah.
Salah
satu contoh mengenai hadis-hadis yang bertentangan dengan al-Qur'an
ما قد حدثنا يونس ، وعيسى بن إبراهيم الغافقي ، قالا : حدثنا سفيان ،
عن الزهري ، عن عبيد الله ، عن أبي هريرة ، وزيد بن خالد ، وشبل ، قالوا : كنا
قعودا عند النبي صلى الله عليه وسلم فقام إليه رجل فقال : أنشدك الله ألا قضيت
بيننا بكتاب الله ، فقام خصمه وكان أفقه منه فقال صدق اقض بيننا بكتاب الله وائذن
لي قال : « قل » قال : إن ابني كان عسيفا (1) على هذا فزنى بامرأته فافتديت منه بمئة شاة وخادم ، ثم
إني سألت رجالا من أهل العلم فأخبروني أن على ابني جلد مئة وتغريب عام وعلى
امرأة هذا الرجم فقال : « والذي نفسي بيدهلأقضين
بينكمابكتاب الله ، المئة شاة والخادم رد عليك ، وعلى ابنك جلد مئة وتغريب عام ، واغد يا أنيس إلى امرأة هذا
فإن اعترفت فارجمها » فغدا عليها فاعترفت فرجمها(حديث
صحيح)
Menurut Ibn Qutaibah (Abū Muhammad):
Hadis ini terlihat
bertentangan dengan kitab Allah (al-Qur’an) karena dalam konteksnya diminta
untuk menghukumi dengan kitab Allah namun pada kenyataannya dihukumi dengan Rajm
dan Taghrīb (pengasingan) padahal dalam al-Qur’an itu tidak ada penyebutan
mengenai hukuman tersebut.Ini merupakan dalil dari ahl al-kalam.
Namun menurut Ibn Qutaibah sendiri:
Sesungguhnya Rasul tidak menyebutkan
dengan pasti bahwa yang dimaksud لأقضين
بينكمابكتاب اللهberarti
hanya dengan al-Qur’an tapi juga yang dimaksud بكتاب
الله
disini mempunyai beberapa makna diantaranya adalah hukum atau berarti wajib.
Seperti juga apa yang termaktub dalam al-Qur’an:
كِتَابَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Jadi
dapat disimpulkan dari perkataannya Ibn Qutaybah bahwasanya beliau menentang
ahl al-kalam yang mengartikan kata كِتَابَ dengan al-Qur’an.Karena dalam al-Qur’an
sendiri kata كِتَابَ memiliki beberapa arti.Diantaranya adalah wajib.
Dari semua
penjelasan yang telah kami paparkan, pemakalah menyimpulkan bahwa titik temu
antara al-Imām al-Shāfi’I dengan al-Imām Ibn Qutaibah adalah sama-sama membahas
mengenai ikhtilāf hadis yang secara ẓahir bertentangan dengan naṣ al-Qur’an
atau dengan hadis itu sendri.
Dari
segi penyelesaiannya juga sama-sama menggunakan 3 metode:
1. Jam’u (mengumpulkan antara naṣ yang
terlihat bertentangan)
2. Memilih qaul yang arjaḥ
3. Nāsikh dan mansūkh (kami tidak menjelaskan
mengenai metode ini karena sudah memiliki pembahasan yang lebih detail di
pertemuan yang akan datang)
Walaupun kita
tahu mengenai metode ikhtilāf hadis ini namun dalam kitabnya sendiri tidak
tertulis secara langsung mengenai penggunaan metode-metode diatas. Kita dapat
mengetahuinya dari penjelasan-penjelasan ’ulama ilmu hadis seperti Ibn Ṣalāh
dan al-Imām al-Nawawy .
Sementara titik
bedanya dapat dilihat dari pembahasan yang dikaji dari masing-masingnya.al-Imām
al-Shāfi’I menyebutkan ikhtilāf ini dari masalah fiqh saja. Sementara Ibn
Qutaibah membahas dari bidang lain (ilmu kalam).
PENUTUP
Ilmu mukhtaliful
hadis yaitu ilmu untuk mengetahui dua hadis yang saling bertentangan. Dengan
adanya metode syafi’I dan ibnu Qutaybah
dapat mempermudah mengetahui mana hadis yang bertentangan mana bukan.
Dua hadis bertentangan itu dapat diketahui ketika Hadis itu berada dalam
tingkatan Maqbūl (diterima) atau Mardūd (ditolak periwayatannya).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imām
Muhammad bin Idrīs afi’i (150-204 H), Ikhtilāf al-Ḥadīs, (Dār al-Kutub
al-’Ilmiyah: Beirut, 2008)
Al-Imām Abū Muhammad ibn Qutaibah al-Dainūry
(w. 276 H), Ta'wĪl Mukhtalaf al-Ḥadīs, (Dār al-Ḥadīs: Kairo, 2006)
[1] Al-Imām Muhammad bin Idrīs afi’i (150-204 H), Ikhtilāf
al-Ḥadīs, (Dār al-Kutub al-’Ilmiyah: Beirut, 2008), h. 12
[2] Al-Imām Muhammad bin Idrīs afi’i (150-204 H), Ikhtilāf al-Ḥadīs,
(Dār al-Kutub al-’Ilmiyah: Beirut, 2008), h. 162
[3]Al-Imām Muhammad bin Idrīs afi’i (150-204 H), Ikhtilāf al-Ḥadīs,
(Dār al-Kutub al-’Ilmiyah: Beirut, 2008), h. 91
[3]
[4] Al-Imām Abū Muhammad ibn Qutaibah al-Dainūry (w. 276 H), Ta'wĪl
Mukhtalaf al-Ḥadīs, (Dār al-Ḥadīs: Kairo, 2006), h. 23
[5] Al-Imām Abū Muhammad ibn Qutaibah al-Dainūry
(w. 276 H), Ta'wĪl Mukhtalaf al-Ḥadīs, (Dār al-Ḥadīs: Kairo, 2006), h.
30
[7] Al-Imām Abū Muhammad ibn Qutaibah al-Dainūry
(w. 276 H), Ta'wĪl Mukhtalaf al-Ḥadīs, (Dār al-Ḥadīs: Kairo, 2006), h.
149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar